BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sesuai dengan yang
diutarakan oleh Oppenheim-Lauterpacht bahwa unsur-unsur negara yakni, rakyat,
wilayah, kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain, dan ada
pemerintahan yang berkuasa (berdaulat).[1] Dalam tatanan bernegara tentunya ada
beberapa hal sebagai sumber kekuasaan bisa berupa kekayaan, kekuasaaan terhadap
suatu kepercayaan atau agama sehingga apabila dilingkungan masyarakat keagamaan
alim ulama akan memiliki kekuasaan terhadap umatnya.[2]
Dalam hal untuk
menjamin kekuasaan dari penguasa tentulah harus diadakan suatu hukum untuk
membatasi kekuasaan dari pada penguasa tersebut. Dikarenakan sesuai dengan yang
dikatakan oleh Lord Acton seorang sejarawan Inggris beliau berkata.
“Kekuasaan itu cenderung di
salahgunakan, Kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan” (Power tends to
corrupt, absolute power corupts absolutely)[3]
Ungkapan dari Lord
Acton ini menjadi hipotesa yang tak terbantahkan saat ini dimana memang hal ini
sesuai dengan kenyataan yang ada bahwa kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
Hal yang paling kompleks saat ini menjadi permasalahan adalah penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan dalam bentuk korupsi. Ada berbagai macam latar
belakang pegawai atau pejabat melakukan korupsi, akan tetapi apapun alasannya
hal tersebut sangatlah tidak dibenarkan.
Tujuan
dari pementukan hukum pidana pada dasarnya adalah untuk memberantas kejahatan
sehingga suatu hari kelak dunia ini akan terbebas dari kejahatan , dan pada
kenyataanya kejahatan semakin meningkat.[4]
B.
Perumusan Masalah
Dari latar
belakang dan dasar pemikiran diatas, maka yang menjadi permasalahan yang dikaji
dalam tulisan ini ialah :
1. Apakah
Pengertian dari Tindak Pidana Korupsi?
2. Apakah
Penyebab Orang Melakukan Tindak Pidana Korupsi?
3. Bagaimanakah
Teknik Korupsi yang Biasa Dilakukan?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui Pengertian dari Tindak Pidana
Korupsi.
2.
Mengetahui Penyebab Orang Melakukan
Tindak Pidana Korupsi.
3.
Mengetahui dan Memahami Teknik Korupsi
yang Biasa Dilakukan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
1.
Pengertian Tindak Pidana
Seperti halnya batasan
hukum, mengenai batasan hukum pidanapun tiada terdapat kesamaan. Sudah barang
tentu tidak semua norma hukum diikuti dengan ancaman pidana, melainkan hanya
apabila untuk suatu tindakan tertentu dirasakan perlu ancaman dengan derita
atau nestapa berupa pidana atau perlu dipergunakan istilah “pengobatan
terakhir” ultimatum remedium.[5]
Sebelum menguraikan
mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian tentang
tindak pidana. Pembentukan undang-undang kita menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama
tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit.[6]
Untuk pengertian dari pada straafbaarfeit
penulis mengutip pendapat Simons dimana pengertiannya adalah “Tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”[7]
Dari pendapat Simons diatas dapatlah
penulis simpulkan ratio dari suatu tindak pidana haruslah memiliki unsur
kesengajaan, artinya kesengajaan ini dapat dilihat dari niat dari si pelaku dan
atau tindakan yang dilakukannya yang dengan usahanya dapat mencegah perbuatan
itu akan tetapi tidak mencegahnya maka itu masuk dalam sengaja yang sadar akan
kemungkinan (dolus eventualis). Dan
juga pula dapat dilakukan dengan tidak sengaja atau yang sering dikatakan
sebagai kelalaian. Namun dalam kelalaian ini haruslah dilihat dari kelalaian si
pelaku dikarenakan apabila tidak ada unsur kesalahan maka tidak dapat dihukum
sesuai dengan asas hukum pidana yang kita ketahui yakni “Geen straf zonder schuld” kemudian
ada ratio tentang tindakan melanggar hukum artinya dalam suatu perbuatan
haruslah ada aturan yang melarang tentang sesuatu perbuatan tersebut hal ini
sesuai dengan asas legalitas dalam hukum pidana. Dan ratio yang terakhir adalah
dapat dipertanggung jawabkan, maksud nya disini adalah kemampuan bertanggung
jawab dari si pelaku apakah dia mampu untuk mempertanggung jawabkann
perbuatannya, misalnya saja orang yang kurang sehat akalnya maka orang tersebut
tidak dapat dituntut diakibatkan ketidakmampuannya melakukan pertanggung
jawaban.
2.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Menurut Fockema
Andrea kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus
. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu
berasal dari asal kata corrumpere,
suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak
bahasa Eropa sepeti Inggris yaitu corruption;
Perancis, yaitu corruptio; Belanda,
yaitu corruptie. Kita dapat
memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa
Indonesia, yaitu “korupsi”.[8]
Secara harfiah, menurut
Sudarto, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur,
yang dikaitkan dengan keuangan. Adapun Henry Campbell Black mendefinisakan
korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan
yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya
sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari
pihak-pihak lain .[9]
Dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang Bersih
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dijelaskan tentang pengertian korupsi,
kolusi, dan nepotisme, yaitu:
1.
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi.
2.
Kolusi adalah permufakatan atau kerja
sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain
yang merugikan orang lain, masyarakat dan/atau negara.
3.
Nepotisme adalah setiap perbuatan
Penyelenggara Negara yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau
kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Tindak pidana korupsi
adalah salah satu bagian dari hukum pidana khusus, disamping mempunyai
spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, yaitu dengan adanya
penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara.[10]
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi
digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinarycrimes)
melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinery crimes. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak
lagi dapat dilakukan secara “biasa” tetapi dituntut dengan cara yang “luar
biasa”.
B. Penyebab
Tindak Pidana Korupsi
Dari hasil
penelitian, pengamatan, analisis, dan evaluasi yang cukup lama, yaitu lima
belas tahunan dapat dijelaskan dibawah ini dengan tidak mengenyampingkan
pendapat para pakar yang telah mengemukakan penyebab korupsi berdasarkan
penelitian atau pengamatan yang dilakukan para pakar tersebut.
a. sifat tamak
dan keserakahan
Apabila dilihat dari segi pelaku
korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam
dirinya dan dapat pula dikatakan sebagai keinginan, noat, atau kesadarannya
untuk melakukan. Sebab-sebab seseorang mendorong untuk melakukan korupsi antara
lain : Kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah orang yang
penghasilannya cukup tinggi, bahkan sudah berlebih bila dibandingkan dengan
kebutuhan hidupnya. Kemungkinan orang tersebut melakukan korupsi tersebut juga
tanpa adanya godaan dari pihak lain. Bahkan kesempatan untuk melakukan korupsi
juga sudah sangat kecil karena sistem pengendalian manajemen yang ada sudah
sangat bagus. Dalam hal pelaku korupsinya seperti itu, maka unsur yang
menyebabkan dia melakukan korupsi adalah unsur dari dalam diri sendiri, yaitu
sifat tamak, serakah, sombong, takabur, rakus, yang memang ada pada manusia tersebut.[11]
b. gaya hidup
konsumtif
Gaya hidup yang
konsumtif di kota-kota besar mendorong pegawai untuk dapat memiliki mobil
mewah, rumah mewah, menyekolahkan anak di luar negeri, pakaian yang mahal,
hiburan yang mahal, dan sebagainya.
Misalnya, gaya hidup yang populer berupa hobi main golf akan mendorong sesorang
pegawai untuk mau menyediakan sarana untuk melaksanakan hobi tersebut. Apabila
pegawai tersebut memang bukan pengawai yang tingkatannya cocok dengan hobi
tersebut, sedangkan dirinya ingin bergaya hidup seperti itu, sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhan sarananya dengan cara-cara yang legal, maka mendorong
dirinya untuk melakukan berbagai hal, termasuk korupsi agar hobinya terlaksana.
Hal ini menjadikan pegawai yang walaupun sudah mendapatkan gaji yang layak akan
berusaha menambah penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan tuntutan gaya hidup
tersebut.[12]
c. penghasilan
tidak memadai
Penghasilan
pegawai negeri seharusnya dapat memenuhi kebutuhan hidup pegawai tersebut
beserta keluarganya secara wajar. Apabila ternyata penghasilannnya sebagai
pegawai negeri tidak dapat menutup kebutuhan hidupnya secara wajar, misalnya
hanya cukup untuk hidup wajar selama sepuluh hari dalam sebulan, maka mau tidak
mau pegawai negeri sipil harus mencari tambahan penghasilan, karena apabila
tidak dilakukan, maka dirinya dan keluarganya akan mati kelaparan. Usaha untuk
mecari tambahan penghasilan tersebut tentu sudah merupakan bentuk korupsi,
meyewakan sarana dinas, menggelapkan peralatan kantor, perjalanan dians fiktif,
dll.[13]
d. kurang adanya
keteladanan dari pimpinan
Dalam
organisasi, pimpinannya baik formal maupun tidak formal akan menjadi panutan dari setiap anggota atau orang yang
berafiliasi pada organisasi tersebut. Dengan karakteristik organisasi seperti
itu, apapun yang dilakukan oleh pimpinan organisasi akan ditiru oleh para
anggota organisasi walaupun dalam intentsitas yang berbeda-beda. Apabila
pimpinannya mencontohkan gaya hidup yang bersih dengan tingkat ekonomi yang
wajar, maka anggota-anggota organisasi tersebut akan cenderung untuk bergaya
hidup yang sama. Akan tetapi, teladan yang baik dari pimpinan tidak menjamin
korupsi tidak akan muncul di dalam organisasinya karena penyebabab lain masih
banyak.[14]
e. nilai-nilai
negatif yang hidup dalam masyarakat
Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi mudah timbul karena
nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat kondusif untuk terjadinya hal itu.
Misalnya, banyak anggota masyarakat yang dalam pergaulan sehari-hari ternyata dalam
menghargai seseorang didasarkan pada kekayaan yang dimiliki orang yang
bersangkutan. Ini dapat dilihat bahwa sebagian besar anggota masyarakat akan
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap seseorang apabila melihat penampilan
lahiriah atas kendaraannya yang mewah dan rumahnya yang mewah.
Juga
apabila masyarakat mengetahui adanya orang yang melakukan perbuatan yang salah
yang mengarah ke perbuatan korupsi masyarakat tidak bertindak apa-apa asalkan
orang tersebut sering berderma. Misalnya, adanya pungutan tambahan dalam
urusan-urusan perijinan, masyarakat memandang “cuek” kejadian-kejadian tersebut
karena menganggap hal seperti itu adalah hal biasa, yang pernting urusannya
selesai.[15]
f. moral yang
lemah
Seseorang yang moralnya tidak kuat
cenderung lebih mudah untuk terdorong berbuat korupsi karenan adanya godaan.
Godaan terhadap seorang pegawai untuk melakukan korupsi berasal dari atasannya
teman setingkat, bawahannya, atau dari pihak luar yang dilayani. Apabila
seorang pegawai melihat atasannya melakukan korupsi, maka pegawai tersebut
cenderung akan melakukan korupsi juga. Karena dia berpendapat bahwa apabila
atasannya tersebut mengetahui perbuatannya kemungkinan atasannya tersebut akan
berpura-pura tidak tahu, tidak akan mengenakan sanksi atau paling tidak hanya
sanksi yang ringan. Hal ini terjadi karena atasannya juga mempunyai rasa takut
mengenai perbuatan korupsinya akan dilaporkan oleh bawahannya.
Teman
setingkat atau bawahan seorang pegawai yang melakukan korupsi juga dapat
merupakan godaan bagi seorang pegawai. Pegawai yang tingkat ekonominya dibawah
pegawai lain yang setingkat atau bawahannya akan melakukan korupsi, jika
moralnya tidak kuat akan mudah tergoda berbuat korupsi juga.[16]
g. malas atau
tidak mau bekerja keras
Kemungkinan lain, orang yang melakukan
korupsi adalah orang yang ingin segera mendapatkan sesuatu yang benyak atau
hanya dalam waktu singkat, tetapi malas untuk bekerja keras dan meningkatkan
kemampuan guna meningkatkan penghasilannya. Kalau ada kesempatan untuk mudah
mendapatkan penghasilan yang besar tanpa usaha yang setimpal mengapa tidak
dimanfaatkan. Akan timbul dalam pikiran orang tersebut, berapa tahun saya harus
membanting tulang untuk memperoleh penghasilan sebesar itu? Apakah mungkin saya
dapat mengumpulkan kekayaan sebanyak itu dengan gaji dan pekerjaan yang
sekarang? Lebih baik saya korupsi dengan menjual temuan-temuan pemeriksa, dua
tiga kali memeriksa bisa punya mobil bagus dan mewah serta punya rumah mewah.[17]
h. faktor politik
Terjadinya korupsi di Indonesia bisa
disebabkan oleh faktor politik atau yang berkaitan dengan masalah kekuasaan.
Para pakar dalam dsiplin ilmu politik tentunya mengenal dalil korupsi. Rumusan
penyelewengan penggunaan uang negara telah dipopulerkan oleh E. John Emerich
Edward Dalberg Acton atau lbih dukenal dengan Lord Acton, yang hidup pada tahun
1834-1902 di Inggris. Beliau menyebutkan bahwa faktor kekuasaanlah yang
menyebabkan korupsi.
Para
pembaca tentu masih ingat dengan rumusan Lord Acton itu, yang menyatakan bahwa
: Power tend to corrupt, but absolute
power corrupts absolutely, yang berati : kekuasaan cenderung korupsi,
tetapi kekuasaan yang berlebihanmengakibatkankorupsi berlebihan pula.
i. budaya organisasi pemerintah
Di lingkungan organisasi Pemerintah
telah dianutbudayaatau tingkah laku yang dipertahankan secara terus-menerus dan
dianggap sebagai suatu kebenaran. dalam perencanaanselalu mark up (penggelembungan) biaya ataumengakolasikan biaya/kebutuhan
tidak sesuai dengan harga yang wajar dan kebutuhan yang rill dengan alasan pada
waktu pelaksanaan dikuatirkan akan terjadi kenaikan harga, walaupun sudah ada
standar yang ditetapkan. Dalam pelaksanaan anggaran yang dialokasikan tersebut
diupayakan untuk dihabiskan dengan berbagai cara. Penilaian keberhasilan
cenderung dilihat ari besarnya realisasi anggaran bukan darirealisasi tolak
ukur fidik atau kinerja yang dicapai. Apabila terjadi sisa anggaran cenderung
digunakan dan dihabiskan untuk hal-hal yang secara rill tidak dibutuhkan.
Masukan-masukan dari pegawai yang kritis untuk perbaikanmengenai pengelolaan
anggaran atau dugaan korupsi dianggap sebagai musuh dan harus dikesampingkan
atau dikucilkan, sangat alergi atau menolak adanya adanya whistel blower dari kalangan institusi sendiri kalau perlu diambil
kebijakan untuk mengucilkan atau memusahkan whistel
blower tersebut, atau menjadikannya sebagai kambing hitam untuk diproses
secara hukum.[18]
C. Teknik Korupsi
Dalam Ruang Lingkup Bebarapa Instansi
1. Teknik
Korupsi di Bidang Perpajakan
a) Penetapan Pajak Badan Lebih Kecil
Perusahaan
PT X akan memebayar pajak tahunan dan menurut perhitungan perusahaan sendirri
pajaknya adalah sebesar Rp 100 juta. Hasil perhitungan pajak tersebut diajukan
oleh PT X kepada kantor pajak. Selanjutnya,
dalam proses pemeriksaan laporan pajak yang diajukan oleh perusahaan
diteliti dan ditetapkan oleh aparat pajak bahwa jumlah penetapan pajak tersebut
adalah sebesar Rp 100 juta. Namun, karena adanya kolusi antara aparat pajak
dengan pihak perusahaan/PT X , maka oleh aparat pajak ditetapkan jumlah pajak yang harus dibayar adalah hanya sebesar
Rp 50 juta.sehingga terjadi kerugian negara atau korupsi sebesar Rp 50 juta.
b)
Pemaksaan Setoran Badan Pajak
Dalam
setiap tahun perusahaan PT X melakukan pembayaran pajak tahunan sesuai
perhitungan perusahaan PT Xsendiri adalah sebesar Rp 500 juta. Berdasarakan
hasil penetapan jumlah pajak oleh aparat pajak tersebut, pihak PT X akan segera
akan melakukan penyetoran pajaknya sebesar Rp 500 juta tersebut, maka terjadi
komitmen dan kolusi antara pihak PT X akan segera melakukan penyetoran pajak
dengan pihak Bank atau penerima setoran untuk mengeluarkan bukti setor (STS)
yang sah atau pemalsuan bukti setor (STS) dan pajak perusahaan PT X sebesar Rp
500 juta tidak disetorkan kepada Bank, namun uang pajak perusahaan PT X sbesar
Rp 500 juta dibagi-bagi antara perusahaan PT X dengan pihak Bank yang mealukan
kolusi sehingga terjadi kerugian keuangan negara seebsar Rp 500 juta.
c)
Pemalsuan Bukti Setor
Petugas
wajib pajak / wajib pungut melakuakan pungutan / pemotongan langsung pajak atas
rekanan atau penerima honor sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pajak. Seharusnya hasil pungutan/pemotongan distorkan ke aks negara
denagn bukti setor, tetapi bukti setoran pajak dipaalsukan oleh penmungut
pajak, biasanya benda-benda harawan maupun bendaharawan rutin proyek.
d)
Restisusi Fiktif
Restitusi fiktif dilakukan secara bersama0sama antara
pejabat/pegawai DirektoralJe ndral Pajak dengan pegawai Direktorat Jendral Bea
dan Cukai. Pengelola pelabujhan, pengusaha peti kemas, agen pelayaran asing
yang menerbitkan dokumen atau bill of lading, produsen atau penguaha ekspor
pengusaha ritel, makelar jasa ke pabenan, makelar agen pelayaran, dan makelar
faktur.
Yang
menjadi sasaran ialah dana pengembalian restitusi pajak, yaitu dana atas pajak
pertambhan nilai (PPN) yang telah dikeluarkan pengusaha saat mengimpor bahan
baku untuk produk-produk yang diekspor. Manipulasi terjadi di dua lapisan.
Pertama, bukti-bukti pembayaran PPN atas baku yang diimpor sebagai dasaruntuk
mengklaim restitusi. Namun, pengembalian restitusi baru bisa dibayarkan oleh
petugas pajak jika pengusaha mengajukan sejumlah dokumen yang membuktikan bahwa
barang-barang yang menggunakan bahan baku impor yang sudah membayar PPN
tersebut betul-betul telah dikapalkan untuk tujuan ekspor.
e)
Pemotongan Pajak Bohong
Bendaharawan
memotong pajak dari penerima honor, yang sebenarnya besaran honor yang
dibayarkan menurut peraturan perpajakan dibebaskan dari pajak. Hasil pemotongan
dijadikan sumber pwendapatan/penghasulan bagi si bendaharawan atau dibagi
dengan atasannya atau kawan-kawan di lingkungan unit kerjanya. Modus oprandi
ini memang tidak merugikan keuangan Negara, tetapi merugikan karyawan penerima
honor.
f)
Kolusi Penetapan
Dalam
penetapan besaran pajak yang harus dibayar leh perusahaan atau wajib pajak,
petugas pajak yang menetapkan baik secara perorangan maupun bersama-sama dengan
petugas yang lain dan atasannya berkompromi dengan pihakperusahaan untuk
menentukan pajak yang idasarkan pada perhitungan yang berdasarkan transaksi
pembukuan yang sebenarnya. Untuk meluruskan modus operandi ini, biasanya pihak
perusahaan/wajib pajak membuat pembukuan tersendiri (double pembukuan) yang
khusus dirancang untuk penetapan besaran pajak secara lengkap dan sesuaidengan
standar pembukuan, yang diarahkan oleh alumni-alumni petugas pajak.[19]
2. Teknik
Korupsi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Manipulasi Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang terungkapdari hasil pemeriksaan BPK-RI antar lain sebagai berikut :
1.
Hasil
produksi kayu bulat (kayu hasil tebangan) hanya dilaporkan sebagian oleh
pemegang izin pemanfaatan kayu (IPK), sehingga hasil produksi yang dilaporkan
lebih kecil daripada hasil produksi nyatanya, sehingga PSDH dan DR diterima
lebih kecil.
2.
Jumlah
volume kayu bulat melebihi izin yang ditetapkan Bupati, sehingga sebagian PSDH
dan DR tidak diterima. Hal tersebut terjadi karna kesengajaan bik aparat dinas
Kehutanan maupun pengusaha sebagai mitra untuk pengangkutan kayu.
3.
Hasil
penebangan kayu ilegal diakui sebagai kayu temuan (kayu yang tiada pemiliknya)[20]
3. Gaji dan
Honor Fiktif
Modus
operandi atau teknik korupsinya dilakukan oleh bebrapa orang dari unit kerja
operasional yang biasanya bekerjasama dengan pembuat daftar gaji/honor pgawai.
Mereka membuat daftar nama fiktif atas nama pegawaui yang sudah pensiun,
berhenti atau meinggal duinia. Mengenai cap stempel, penandatanganan semuanya
asli. Tekniknya dilakukan secara bekerjasama antara oknum-oknum dari suatu
instansi.
4. Teknik-teknik
Korupsi Spesifik di Lingkungan BUMN dan BUMD
Beberapa teknik korupsi yang spesifik
yang dilakukan oleh kalangan direksi dilingkungan BUMN dan BUMD, disamping
teknik-teknik korupsi umum yang dilakukan oleh birokrsai pada saat pengadaan
barang /jasa dilingkungan instansi pengelola APBN dan APBD. Modus operandi atau
teknik korupsi dari kalangan direksi atau elit BUMN/BUMD ini biasa diamati dari
angka-angaka akuntansi yang tercermin dalam lapoaran keuangan dan temuan-temuan
pemeriksaan.
Modus operandi atau teknik korupsi yang
dilakukan kalangan direksi tersebut selain memenuhi syarat-syarat unsur korupsi
secara hukum, tetpi juga merupakan kategori korupsi memenuhi pengertian korupsi
secatra moral. Dapat dikatakan korupsis secara moral karna perbuatan
oknum-oknum direksi secara lambat laun, pasti akan membusukkan perusahaan atau
istilah sehai-harinya perusahan digerogoti secara terus-menerus sampai
bangkrut. Prilaku opurtunis yang dapat dilakukan direksi dan elit birokrasi
BUMN/BUMD antara lain sebagai berikut:
a.
penyalahgunaan
dana perusahaan, dimana direksi “ meminjam” dana dari perusahaan untuk
spekulasi atau digunakan suatu kegiatan investasi atau kepentingan pribdi.
Sealah keuntungan di dapat, direksi kemudian mengembalikan dana tersebut.
b.
Direksi
atau karyawan dari pemasok perusahaan, dengan cara mendirikan perusahaan yang
bertindak sebagai rekan, biasanya dilakukan di lingkungan BUMN/BUMD yang
memerlukan bahanatau barang secara terus-menerus.
c.
Direksi
memiliki atau juga bekrja di perusahaan kompetitor pada saat yang sama dia
bekerja sebagai direksi. Sehingga dengan akses informasi yang dipunyai, ia
dapat menekankan perusahan kompotitor.
d.
Keuntungan
( benefit/bonus) yang diterima dari supplier atau pelanggan (rekan) yang
mendapatkan pekerjaan dari perusahaan atau sebagai usaha rekan untuk
mendapatkan pekerjaan dari perusahaan .
e.
Penyalahgunaan
informasi rahasia perushaan untuk kepentingan pribadi direksi.
f.
Penghasilan
tambahan dalam bentuk tunjangan-tunjangan kepada direksi selain gaji, tanpa
adaa persetujuan dari pemegang saham (RUPS)
g.
Penghasilan
tambahan bagi direksi juga dapat berupa fasilitas kantor yang dikonumsi secara
berlebihan oleh direksi. Direksi dapat saja memilih mobil yang mewah sekali
untuk kendaraan kantornya, mengsmbil pinjsmsn dengan bunga rendah dari
perusahaan atau pembelian furniture mewah untuk kantor dan ruangan direksi.
h.
Direksi
terkadang melebarkan sayap bisnis perusahaan dengan membeli/membangun unit
usaha/pabrik baru sebagai alat untuk menaikkan prestise yang ada akhirnya akan
menjastifikasi kenanaikan gaji, fasilitas-fasilitas kantor dan prestise. Memang
peklebaran sayap usaha ini selain meningkatkan kas keluar juga meningkatkan
tanggung jawab direksi, tetapi jika dilakukan pengamatan yang lebih mendalam,
hal tersebut tidak selalu meningkatkan kekayaan pemegang saham jika struktur
yang baru tidak berjalan dengan baik. Teknik melebarkan bisnis ini ternyata
sudah dilakukan dengan istilah restrukturisasi atau perluasan keindustri hilir.
i.
Penghindaran
resiko.dikarenakan intensif yang kecil bagi direksi untuk terjun ke bisnis yang
beresiko, maka direksi biasanya menghindari kesempatan tersebut, meskipun itu
menawarkan tingkat pengembalian yang diinginkan oleh pemegang saham.
j.
Perbedaan
jangka waktu. Pemegang saham berkepentingan pada arus kas masuk yang
terus-meneris untuk jangka panjang, dilain pihak direksi berusaha memaksimalkan
keuntungan jangka pendek mereka terutama ketika kontrak mereka hampir berakhir.[21]
5. Teknik
Korupsi di Lingkungan Penegak Hukum
a. teknik korupsi di lingkungan polisi
Teknik korupsi yang paling sederhana di
lingkungan okum-oknum polisi adalah melakukan perbuatan damai di bawah tangan
atas pelanggaran peraturan perundang-undangan antara pelanggar dengan oknum
polisi yang seharusnya menegakkan peraturan perundang-undangan. Contoh yang
sering kita lihat sehari-hari adalah kompromi antara oknum polisi lalu lintas
dengan pelanggar peraturan perundang-undangan dibidang lalu lintas, yang
seharusnya dikenakan denda dalam jumlah tertentu yang harus disetor ke kas
negara melalui bank atau pengadilan tindak pidan ringan di pengadila, tetapi
cukup membayar ke oknum polisi dengan jumlah yang jauh lebih kecil tanpa
dikenakan proses tilang peradilan.
b. teknik korupsi dilLingkungan oknum-oknum kejaksaan
Pihak kejaksaan sebagai pihak yang
menindak lanjuti berkas yang diserahkan oleh polisi, pengaduan masyarakat,
institusi pengawas dan pemeriksa atau dari hasil penyelidikan dan penyidikan
kejaksaan sendiri, yang seharusnya segera diproses ke tahapan penuntutan di
pengadilan sesuai dengan berat ringannya kesalahan.
Adapun
teknik yang biasa digunakan oleh oknum-oknum kejaksaan seperti, pertama
oknum-oknum kejaksaan melakukan tindak lanjut memproses perkara dengan
mengenakan hukum dengan pasal yang terberat, apabila tersangka dan pengacaranya
merasa keberatan, mulai diajak berdamai dengan memberikan imbalan tertentu.
Selanjutnya pihak kejaksaan mengubah tuntutan dengan pasal-pasal yang lebih
ringan dan alat-alat bukti dikaburkan dengan harapan pada proses peradilan
tidak terbukti atau terbukti dengan hukuman yang cukup ringan. Kedua proses
perkara bisa dikesampingkan asalkan tersangka atau pengacaranya memberikan
imbalan yang sepadan dengan ancaman hukuman dengan cara menyatakan setelah
dilakukan gelar perkara ternyata unsur-unsur tindak pidana atas pasal yang
dituduhkan tidak terpenuhi. Ketiga tidak memperoses perkara sama sekali dengan
dalil berkas perkara yang diterima dari polisi atau pengaduan measyarakat atau
instansi pemerintah/garing pengawas tidak memnuhi syarat untuk ditundaklanjuti
ke proses penuntutan. Hal ini bisa terjadi karena betul-betul tidak memenuhi
syarat dan bisa terjadi karena oknum-oknum kejaksaan telah berkolusi dengan
calon tersangka dan oknum pengacara untuk mengesampingkan perkara.
c. Teknik
korupsi di lingkungan hakim
Untuk perkara-perkara perdata biasanya
terjadi kolusi antar oknum hakim dengan oknum pengacara baik dari pihak
penggugat maupun tergugat yang berani memberikan upeti atau sogokan yang lebih
besar, maka dalam putusan yang dimenangkan adalah pihak tersebut.
Adapun untuk perkara pidana inisiatif
terjadinya korupsi bisa diprakarsai oleh terdakwa dan pengacaranya dan bisa
pula pihak oknum/oknum hakim yang proaktif menawar jasanya. Apabila telah
terjadi kata sepakat untuk mengatur berat ringannya hukuman yang dijatuhkan
atau atas permintaan terdakwa/pengacaranya untuk dibebaskan dari hukuman sama
sekali dan jumlah imbalan disepakati, maka bunyi vonis akan sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak.[22]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Henry Campbell Black mendefinisakan
korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan
untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan
hak-hak dari pihak-pihak lain.
2.
Penyebab korupsi bukan hanya ada pada
dalam faktor dalam diri si pelaku seperti moral yang lemah dan gaya hidup yang
konsumtif akan tetapi juga dari luar diri si pelaku dimana tempat instansi dia
bekerja juga sudah menjadi lingkaran setan sehingga pelaku tersebut mau tidak
mau harus juga ikut-ikutan agar tidak di cemooh dan atau dipindahtugaskan.
3.
Teknik Korupsi ada berbagai macam dan berbagai
cara tergantung dari instansi yang didiami karena fleksibilitas dan celah dari
tindakan korupsi itu berbeda-beda bagi setiap instansi.
B. Saran
1.
Tindak pidana korupsi adalah tindak
pidana extra ordinary-crime maka
dalam tindakan pemberantasannya harus pulah lah dengan cara yang extra seperti
hukuman mati.
2.
Seharusnya dalam pencegahan tindak
pidana korupsi, dilakukan lah edukasi kepada generasi muda tentang bahaya
korupsi sehingga generasi muda kita tidak juga terjebak dalam lingkaran setan
tersebut.
3.
Korupsi bisa dapat mudah terjadi karena
lemahnya pengawasan dari instansi terkait ataupun dari masyaraka, peran
pengawasan yang paling penting seharusnya disematkan kepada rakyat karna negara
kita adalah negara demokrasi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat.
[1]Huala Adolf., Aspek-Aspek
Negara Dalam Hukum Internasional., (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.,
1996) hlm. 3.
[2] Miriam Budiardjo., Dasar-Dasar
Ilmu Politik., (Jakarta: PT Gramedia Pustaka., 2015) hlm. 62
[3]M. Yahya Harahap., Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP., (Jakarta: Sinar Grafika., 2002) hlm.
7.
[4] Topo Santoso dan Eva Achjani., Kriminologi., (Jakarta: Raja Grafindo Persada., 2001) hlm.
1
[5] E.Y Kanter dan S.R Sianturi., Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya., (Jakarta: Storia Grafika.,
2002) hlm. 13.
[6] Evi Hartanti., Tindak
Pidana Korupsi., (Jakarta: Sinar Grafika., 2012) hlm. 5.
[7] Ibid.,
[8]Andi Hamzah., Pembrantasan
Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional., (Jakarta:
Raja Grafindo Persada., 2014) hlm. 4.
[9] Aziz Syamsudin., Tindak
Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika., 2011) hlm 137.
[10]Ermansjah Djaja., Meredesain
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika., 2010) hlm.
29.
[11]Surachmin dan Suhandi Cahaya., Strategi
dan Teknik Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika., 2011) hlm. 91.
[12] Ibid., hlm. 94.
[13] Ibid., hlm. 95.
[14] Ibid., hlm. 96.
[15] Ibid., hlm. 101.
[16] Ibid., hlm. 102.
[17] Ibid., hlm. 104.
[18] Ibid., hlm. 108.
[19] Ibid., hlm. 67-70.
[20] Ibid., hlm. 71.
[21] Ibid., hlm. 72-74.
[22] Ibid., 75-77.