Thursday, 25 January 2018

Tindak Pidana Khusus - Makalah Teknik Korupsi



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesuai dengan yang diutarakan oleh Oppenheim-Lauterpacht bahwa unsur-unsur negara yakni, rakyat, wilayah, kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain, dan ada pemerintahan yang berkuasa (berdaulat).[1] Dalam tatanan bernegara tentunya ada beberapa hal sebagai sumber kekuasaan bisa berupa kekayaan, kekuasaaan terhadap suatu kepercayaan atau agama sehingga apabila dilingkungan masyarakat keagamaan alim ulama akan memiliki kekuasaan terhadap umatnya.[2]
Dalam hal untuk menjamin kekuasaan dari penguasa tentulah harus diadakan suatu hukum untuk membatasi kekuasaan dari pada penguasa tersebut. Dikarenakan sesuai dengan yang dikatakan oleh Lord Acton seorang sejarawan Inggris beliau berkata.

“Kekuasaan itu cenderung di salahgunakan, Kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan” (Power tends to corrupt, absolute power corupts absolutely)[3]
Ungkapan dari Lord Acton ini menjadi hipotesa yang tak terbantahkan saat ini dimana memang hal ini sesuai dengan kenyataan yang ada bahwa kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. Hal yang paling kompleks saat ini menjadi permasalahan adalah penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan dalam bentuk korupsi. Ada berbagai macam latar belakang pegawai atau pejabat melakukan korupsi, akan tetapi apapun alasannya hal tersebut sangatlah tidak dibenarkan.
Tujuan dari pementukan hukum pidana pada dasarnya adalah untuk memberantas kejahatan sehingga suatu hari kelak dunia ini akan terbebas dari kejahatan , dan pada kenyataanya kejahatan semakin meningkat.[4]
B. Perumusan Masalah
            Dari latar belakang dan dasar pemikiran diatas, maka yang menjadi permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini ialah :
1.      Apakah Pengertian dari Tindak Pidana Korupsi?
2.      Apakah Penyebab Orang Melakukan Tindak Pidana Korupsi?
3.      Bagaimanakah Teknik Korupsi yang Biasa Dilakukan?

C. Tujuan
1.        Mengetahui Pengertian dari Tindak Pidana Korupsi.
2.        Mengetahui Penyebab Orang Melakukan Tindak Pidana Korupsi.
3.        Mengetahui dan Memahami Teknik Korupsi yang Biasa Dilakukan.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana
Seperti halnya batasan hukum, mengenai batasan hukum pidanapun tiada terdapat kesamaan. Sudah barang tentu tidak semua norma hukum diikuti dengan ancaman pidana, melainkan hanya apabila untuk suatu tindakan tertentu dirasakan perlu ancaman dengan derita atau nestapa berupa pidana atau perlu dipergunakan istilah “pengobatan terakhir” ultimatum remedium.[5]
Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian tentang tindak pidana. Pembentukan undang-undang kita menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit.[6] Untuk pengertian dari pada straafbaarfeit penulis mengutip pendapat Simons dimana pengertiannya adalah “Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”[7]
            Dari pendapat Simons diatas dapatlah penulis simpulkan ratio dari suatu tindak pidana haruslah memiliki unsur kesengajaan, artinya kesengajaan ini dapat dilihat dari niat dari si pelaku dan atau tindakan yang dilakukannya yang dengan usahanya dapat mencegah perbuatan itu akan tetapi tidak mencegahnya maka itu masuk dalam sengaja yang sadar akan kemungkinan (dolus eventualis). Dan juga pula dapat dilakukan dengan tidak sengaja atau yang sering dikatakan sebagai kelalaian. Namun dalam kelalaian ini haruslah dilihat dari kelalaian si pelaku dikarenakan apabila tidak ada unsur kesalahan maka tidak dapat dihukum sesuai dengan asas hukum pidana yang kita ketahui yakni “Geen straf zonder schuld”  kemudian ada ratio tentang tindakan melanggar hukum artinya dalam suatu perbuatan haruslah ada aturan yang melarang tentang sesuatu perbuatan tersebut hal ini sesuai dengan asas legalitas dalam hukum pidana. Dan ratio yang terakhir adalah dapat dipertanggung jawabkan, maksud nya disini adalah kemampuan bertanggung jawab dari si pelaku apakah dia mampu untuk mempertanggung jawabkann perbuatannya, misalnya saja orang yang kurang sehat akalnya maka orang tersebut tidak dapat dituntut diakibatkan ketidakmampuannya melakukan pertanggung jawaban.
2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
            Menurut Fockema Andrea kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus . Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari asal kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa sepeti Inggris yaitu corruption; Perancis, yaitu corruptio; Belanda, yaitu corruptie. Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.[8]
Secara harfiah, menurut Sudarto, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur, yang dikaitkan dengan keuangan. Adapun Henry Campbell Black mendefinisakan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain .[9]
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dijelaskan tentang pengertian korupsi, kolusi, dan nepotisme, yaitu:
1.      Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
2.      Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau  antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan/atau negara.
3.      Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian dari hukum pidana khusus, disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, yaitu dengan adanya penyimpangan hukum pidana formil atau hukum acara.[10] Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinarycrimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinery crimes. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara “biasa” tetapi dituntut dengan cara yang “luar biasa”.
B. Penyebab Tindak Pidana Korupsi
            Dari hasil penelitian, pengamatan, analisis, dan evaluasi yang cukup lama, yaitu lima belas tahunan dapat dijelaskan dibawah ini dengan tidak mengenyampingkan pendapat para pakar yang telah mengemukakan penyebab korupsi berdasarkan penelitian atau pengamatan yang dilakukan para pakar tersebut.
a. sifat tamak dan keserakahan
            Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya dan dapat pula dikatakan sebagai keinginan, noat, atau kesadarannya untuk melakukan. Sebab-sebab seseorang mendorong untuk melakukan korupsi antara lain : Kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah orang yang penghasilannya cukup tinggi, bahkan sudah berlebih bila dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya. Kemungkinan orang tersebut melakukan korupsi tersebut juga tanpa adanya godaan dari pihak lain. Bahkan kesempatan untuk melakukan korupsi juga sudah sangat kecil karena sistem pengendalian manajemen yang ada sudah sangat bagus. Dalam hal pelaku korupsinya seperti itu, maka unsur yang menyebabkan dia melakukan korupsi adalah unsur dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak, serakah, sombong, takabur, rakus, yang memang ada pada manusia tersebut.[11]
b. gaya hidup konsumtif
            Gaya hidup yang konsumtif di kota-kota besar mendorong pegawai untuk dapat memiliki mobil mewah, rumah mewah, menyekolahkan anak di luar negeri, pakaian yang mahal, hiburan  yang mahal, dan sebagainya. Misalnya, gaya hidup yang populer berupa hobi main golf akan mendorong sesorang pegawai untuk mau menyediakan sarana untuk melaksanakan hobi tersebut. Apabila pegawai tersebut memang bukan pengawai yang tingkatannya cocok dengan hobi tersebut, sedangkan dirinya ingin bergaya hidup seperti itu, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan sarananya dengan cara-cara yang legal, maka mendorong dirinya untuk melakukan berbagai hal, termasuk korupsi agar hobinya terlaksana. Hal ini menjadikan pegawai yang walaupun sudah mendapatkan gaji yang layak akan berusaha menambah penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan tuntutan gaya hidup tersebut.[12]
c. penghasilan tidak memadai
Penghasilan pegawai negeri seharusnya dapat memenuhi kebutuhan hidup pegawai tersebut beserta keluarganya secara wajar. Apabila ternyata penghasilannnya sebagai pegawai negeri tidak dapat menutup kebutuhan hidupnya secara wajar, misalnya hanya cukup untuk hidup wajar selama sepuluh hari dalam sebulan, maka mau tidak mau pegawai negeri sipil harus mencari tambahan penghasilan, karena apabila tidak dilakukan, maka dirinya dan keluarganya akan mati kelaparan. Usaha untuk mecari tambahan penghasilan tersebut tentu sudah merupakan bentuk korupsi, meyewakan sarana dinas, menggelapkan peralatan kantor, perjalanan dians fiktif, dll.[13]
d. kurang adanya keteladanan dari pimpinan
Dalam organisasi, pimpinannya baik formal maupun tidak formal akan menjadi panutan dari setiap anggota atau orang yang berafiliasi pada organisasi tersebut. Dengan karakteristik organisasi seperti itu, apapun yang dilakukan oleh pimpinan organisasi akan ditiru oleh para anggota organisasi walaupun dalam intentsitas yang berbeda-beda. Apabila pimpinannya mencontohkan gaya hidup yang bersih dengan tingkat ekonomi yang wajar, maka anggota-anggota organisasi tersebut akan cenderung untuk bergaya hidup yang sama. Akan tetapi, teladan yang baik dari pimpinan tidak menjamin korupsi tidak akan muncul di dalam organisasinya karena penyebabab lain masih banyak.[14]
e. nilai-nilai negatif yang hidup dalam masyarakat
Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi mudah timbul karena nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat kondusif untuk terjadinya hal itu. Misalnya, banyak anggota masyarakat yang dalam pergaulan sehari-hari ternyata dalam menghargai seseorang didasarkan pada kekayaan yang dimiliki orang yang bersangkutan. Ini dapat dilihat bahwa sebagian besar anggota masyarakat akan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap seseorang apabila melihat penampilan lahiriah atas kendaraannya yang mewah dan rumahnya yang mewah.
Juga apabila masyarakat mengetahui adanya orang yang melakukan perbuatan yang salah yang mengarah ke perbuatan korupsi masyarakat tidak bertindak apa-apa asalkan orang tersebut sering berderma. Misalnya, adanya pungutan tambahan dalam urusan-urusan perijinan, masyarakat memandang “cuek” kejadian-kejadian tersebut karena menganggap hal seperti itu adalah hal biasa, yang pernting urusannya selesai.[15]

f. moral yang lemah
Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung lebih mudah untuk terdorong berbuat korupsi karenan adanya godaan. Godaan terhadap seorang pegawai untuk melakukan korupsi berasal dari atasannya teman setingkat, bawahannya, atau dari pihak luar yang dilayani. Apabila seorang pegawai melihat atasannya melakukan korupsi, maka pegawai tersebut cenderung akan melakukan korupsi juga. Karena dia berpendapat bahwa apabila atasannya tersebut mengetahui perbuatannya kemungkinan atasannya tersebut akan berpura-pura tidak tahu, tidak akan mengenakan sanksi atau paling tidak hanya sanksi yang ringan. Hal ini terjadi karena atasannya juga mempunyai rasa takut mengenai perbuatan korupsinya akan dilaporkan oleh bawahannya.
Teman setingkat atau bawahan seorang pegawai yang melakukan korupsi juga dapat merupakan godaan bagi seorang pegawai. Pegawai yang tingkat ekonominya dibawah pegawai lain yang setingkat atau bawahannya akan melakukan korupsi, jika moralnya tidak kuat akan mudah tergoda berbuat korupsi juga.[16]
g. malas atau tidak mau bekerja keras
Kemungkinan lain, orang yang melakukan korupsi adalah orang yang ingin segera mendapatkan sesuatu yang benyak atau hanya dalam waktu singkat, tetapi malas untuk bekerja keras dan meningkatkan kemampuan guna meningkatkan penghasilannya. Kalau ada kesempatan untuk mudah mendapatkan penghasilan yang besar tanpa usaha yang setimpal mengapa tidak dimanfaatkan. Akan timbul dalam pikiran orang tersebut, berapa tahun saya harus membanting tulang untuk memperoleh penghasilan sebesar itu? Apakah mungkin saya dapat mengumpulkan kekayaan sebanyak itu dengan gaji dan pekerjaan yang sekarang? Lebih baik saya korupsi dengan menjual temuan-temuan pemeriksa, dua tiga kali memeriksa bisa punya mobil bagus dan mewah serta punya rumah mewah.[17]

h. faktor politik
Terjadinya korupsi di Indonesia bisa disebabkan oleh faktor politik atau yang berkaitan dengan masalah kekuasaan. Para pakar dalam dsiplin ilmu politik tentunya mengenal dalil korupsi. Rumusan penyelewengan penggunaan uang negara telah dipopulerkan oleh E. John Emerich Edward Dalberg Acton atau lbih dukenal dengan Lord Acton, yang hidup pada tahun 1834-1902 di Inggris. Beliau menyebutkan bahwa faktor kekuasaanlah yang menyebabkan korupsi.
Para pembaca tentu masih ingat dengan rumusan Lord Acton itu, yang menyatakan bahwa : Power tend to corrupt, but absolute power corrupts absolutely, yang berati : kekuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihanmengakibatkankorupsi berlebihan pula.

i.  budaya organisasi pemerintah
Di lingkungan organisasi Pemerintah telah dianutbudayaatau tingkah laku yang dipertahankan secara terus-menerus dan dianggap sebagai suatu kebenaran. dalam perencanaanselalu mark up (penggelembungan) biaya ataumengakolasikan biaya/kebutuhan tidak sesuai dengan harga yang wajar dan kebutuhan yang rill dengan alasan pada waktu pelaksanaan dikuatirkan akan terjadi kenaikan harga, walaupun sudah ada standar yang ditetapkan. Dalam pelaksanaan anggaran yang dialokasikan tersebut diupayakan untuk dihabiskan dengan berbagai cara. Penilaian keberhasilan cenderung dilihat ari besarnya realisasi anggaran bukan darirealisasi tolak ukur fidik atau kinerja yang dicapai. Apabila terjadi sisa anggaran cenderung digunakan dan dihabiskan untuk hal-hal yang secara rill tidak dibutuhkan. Masukan-masukan dari pegawai yang kritis untuk perbaikanmengenai pengelolaan anggaran atau dugaan korupsi dianggap sebagai musuh dan harus dikesampingkan atau dikucilkan, sangat alergi atau menolak adanya adanya whistel blower dari kalangan institusi sendiri kalau perlu diambil kebijakan untuk mengucilkan atau memusahkan whistel blower tersebut, atau menjadikannya sebagai kambing hitam untuk diproses secara hukum.[18]



C.  Teknik Korupsi Dalam Ruang Lingkup Bebarapa Instansi
1.  Teknik Korupsi di Bidang Perpajakan
a) Penetapan Pajak Badan Lebih Kecil
Perusahaan PT X akan memebayar pajak tahunan dan menurut perhitungan perusahaan sendirri pajaknya adalah sebesar Rp 100 juta. Hasil perhitungan pajak tersebut diajukan oleh PT X kepada kantor pajak. Selanjutnya,  dalam proses pemeriksaan laporan pajak yang diajukan oleh perusahaan diteliti dan ditetapkan oleh aparat pajak bahwa jumlah penetapan pajak tersebut adalah sebesar Rp 100 juta. Namun, karena adanya kolusi antara aparat pajak dengan pihak perusahaan/PT X , maka oleh aparat pajak  ditetapkan jumlah  pajak yang harus dibayar adalah hanya sebesar Rp 50 juta.sehingga terjadi kerugian negara atau korupsi sebesar Rp 50 juta.
b) Pemaksaan Setoran Badan Pajak
Dalam setiap tahun perusahaan PT X melakukan pembayaran pajak tahunan sesuai perhitungan perusahaan PT Xsendiri adalah sebesar Rp 500 juta. Berdasarakan hasil penetapan jumlah pajak oleh aparat pajak tersebut, pihak PT X akan segera akan melakukan penyetoran pajaknya sebesar Rp 500 juta tersebut, maka terjadi komitmen dan kolusi antara pihak PT X akan segera melakukan penyetoran pajak dengan pihak Bank atau penerima setoran untuk mengeluarkan bukti setor (STS) yang sah atau pemalsuan bukti setor (STS) dan pajak perusahaan PT X sebesar Rp 500 juta tidak disetorkan kepada Bank, namun uang pajak perusahaan PT X sbesar Rp 500 juta dibagi-bagi antara perusahaan PT X dengan pihak Bank yang mealukan kolusi sehingga terjadi kerugian keuangan negara seebsar Rp 500 juta.
c) Pemalsuan Bukti Setor
Petugas wajib pajak / wajib pungut melakuakan pungutan / pemotongan langsung pajak atas rekanan atau penerima honor sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak. Seharusnya hasil pungutan/pemotongan distorkan ke aks negara denagn bukti setor, tetapi bukti setoran pajak dipaalsukan oleh penmungut pajak, biasanya benda-benda harawan maupun bendaharawan rutin proyek.
d) Restisusi Fiktif
Restitusi fiktif  dilakukan secara bersama0sama antara pejabat/pegawai DirektoralJe ndral Pajak dengan pegawai Direktorat Jendral Bea dan Cukai. Pengelola pelabujhan, pengusaha peti kemas, agen pelayaran asing yang menerbitkan dokumen atau bill of  lading, produsen atau penguaha ekspor pengusaha ritel, makelar jasa ke pabenan, makelar agen pelayaran, dan makelar faktur.
Yang menjadi sasaran ialah dana pengembalian restitusi pajak, yaitu dana atas pajak pertambhan nilai (PPN) yang telah dikeluarkan pengusaha saat mengimpor bahan baku untuk produk-produk yang diekspor. Manipulasi terjadi di dua lapisan. Pertama, bukti-bukti pembayaran PPN atas baku yang diimpor sebagai dasaruntuk mengklaim restitusi. Namun, pengembalian restitusi baru bisa dibayarkan oleh petugas pajak jika pengusaha mengajukan sejumlah dokumen yang membuktikan bahwa barang-barang yang menggunakan bahan baku impor yang sudah membayar PPN tersebut betul-betul telah dikapalkan untuk tujuan ekspor.
e) Pemotongan Pajak Bohong
Bendaharawan memotong pajak dari penerima honor, yang sebenarnya besaran honor yang dibayarkan menurut peraturan perpajakan dibebaskan dari pajak. Hasil pemotongan dijadikan sumber pwendapatan/penghasulan bagi si bendaharawan atau dibagi dengan atasannya atau kawan-kawan di lingkungan unit kerjanya. Modus oprandi ini memang tidak merugikan keuangan Negara, tetapi merugikan karyawan penerima honor.
f) Kolusi Penetapan
Dalam penetapan besaran pajak yang harus dibayar leh perusahaan atau wajib pajak, petugas pajak yang menetapkan baik secara perorangan maupun bersama-sama dengan petugas yang lain dan atasannya berkompromi dengan pihakperusahaan untuk menentukan pajak yang idasarkan pada perhitungan yang berdasarkan transaksi pembukuan yang sebenarnya. Untuk meluruskan modus operandi ini, biasanya pihak perusahaan/wajib pajak membuat pembukuan tersendiri (double pembukuan) yang khusus dirancang untuk penetapan besaran pajak secara lengkap dan sesuaidengan standar pembukuan, yang diarahkan oleh alumni-alumni petugas pajak.[19]
2. Teknik Korupsi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Manipulasi Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang terungkapdari hasil  pemeriksaan BPK-RI antar  lain sebagai berikut :
1.      Hasil produksi kayu bulat (kayu hasil tebangan) hanya dilaporkan sebagian oleh pemegang izin pemanfaatan kayu (IPK), sehingga hasil produksi yang dilaporkan lebih kecil daripada hasil produksi nyatanya, sehingga PSDH dan DR diterima lebih kecil.
2.      Jumlah volume kayu bulat melebihi izin yang ditetapkan Bupati, sehingga sebagian PSDH dan DR tidak diterima. Hal tersebut terjadi karna kesengajaan bik aparat dinas Kehutanan maupun pengusaha sebagai mitra untuk pengangkutan kayu.
3.      Hasil penebangan kayu ilegal diakui sebagai kayu temuan (kayu yang tiada pemiliknya)[20]

3. Gaji dan Honor Fiktif
Modus operandi atau teknik korupsinya dilakukan oleh bebrapa orang dari unit kerja operasional yang biasanya bekerjasama dengan pembuat daftar gaji/honor pgawai. Mereka membuat daftar nama fiktif atas nama pegawaui yang sudah pensiun, berhenti atau meinggal duinia. Mengenai cap stempel, penandatanganan semuanya asli. Tekniknya dilakukan secara bekerjasama antara oknum-oknum dari suatu instansi.
4. Teknik-teknik Korupsi Spesifik di Lingkungan BUMN dan BUMD
Beberapa teknik korupsi yang spesifik yang dilakukan oleh kalangan direksi dilingkungan BUMN dan BUMD, disamping teknik-teknik korupsi umum yang dilakukan oleh birokrsai pada saat pengadaan barang /jasa dilingkungan instansi pengelola APBN dan APBD. Modus operandi atau teknik korupsi dari kalangan direksi atau elit BUMN/BUMD ini biasa diamati dari angka-angaka akuntansi yang tercermin dalam lapoaran keuangan dan temuan-temuan pemeriksaan.
Modus operandi atau teknik korupsi yang dilakukan kalangan direksi tersebut selain memenuhi syarat-syarat unsur korupsi secara hukum, tetpi juga merupakan kategori korupsi memenuhi pengertian korupsi secatra moral. Dapat dikatakan korupsis secara moral karna perbuatan oknum-oknum direksi secara lambat laun, pasti akan membusukkan perusahaan atau istilah sehai-harinya perusahan digerogoti secara terus-menerus sampai bangkrut. Prilaku opurtunis yang dapat dilakukan direksi dan elit birokrasi BUMN/BUMD antara lain sebagai berikut:

a.      penyalahgunaan dana perusahaan, dimana direksi “ meminjam” dana dari perusahaan untuk spekulasi atau digunakan suatu kegiatan investasi atau kepentingan pribdi. Sealah keuntungan di dapat, direksi kemudian mengembalikan dana tersebut.
b.      Direksi atau karyawan dari pemasok perusahaan, dengan cara mendirikan perusahaan yang bertindak sebagai rekan, biasanya dilakukan di lingkungan BUMN/BUMD yang memerlukan bahanatau barang secara terus-menerus.
c.      Direksi memiliki atau juga bekrja di perusahaan kompetitor pada saat yang sama dia bekerja sebagai direksi. Sehingga dengan akses informasi yang dipunyai, ia dapat menekankan perusahan kompotitor.
d.      Keuntungan ( benefit/bonus) yang diterima dari supplier atau pelanggan (rekan) yang mendapatkan pekerjaan dari perusahaan atau sebagai usaha rekan untuk mendapatkan pekerjaan dari perusahaan .
e.      Penyalahgunaan informasi rahasia perushaan untuk kepentingan pribadi direksi.
f.       Penghasilan tambahan dalam bentuk tunjangan-tunjangan kepada direksi selain gaji, tanpa adaa persetujuan dari pemegang saham (RUPS)
g.      Penghasilan tambahan bagi direksi juga dapat berupa fasilitas kantor yang dikonumsi secara berlebihan oleh direksi. Direksi dapat saja memilih mobil yang mewah sekali untuk kendaraan kantornya, mengsmbil pinjsmsn dengan bunga rendah dari perusahaan atau pembelian furniture mewah untuk kantor dan ruangan direksi.
h.      Direksi terkadang melebarkan sayap bisnis perusahaan dengan membeli/membangun unit usaha/pabrik baru sebagai alat untuk menaikkan prestise yang ada akhirnya akan menjastifikasi kenanaikan gaji, fasilitas-fasilitas kantor dan prestise. Memang peklebaran sayap usaha ini selain meningkatkan kas keluar juga meningkatkan tanggung jawab direksi, tetapi jika dilakukan pengamatan yang lebih mendalam, hal tersebut tidak selalu meningkatkan kekayaan pemegang saham jika struktur yang baru tidak berjalan dengan baik. Teknik melebarkan bisnis ini ternyata sudah dilakukan dengan istilah restrukturisasi atau perluasan keindustri hilir.
i.        Penghindaran resiko.dikarenakan intensif yang kecil bagi direksi untuk terjun ke bisnis yang beresiko, maka direksi biasanya menghindari kesempatan tersebut, meskipun itu menawarkan tingkat pengembalian yang diinginkan oleh pemegang saham.
j.        Perbedaan jangka waktu. Pemegang saham berkepentingan pada arus kas masuk yang terus-meneris untuk jangka panjang, dilain pihak direksi berusaha memaksimalkan keuntungan jangka pendek mereka terutama ketika kontrak mereka hampir berakhir.[21]
5. Teknik Korupsi di Lingkungan Penegak Hukum
a. teknik korupsi di lingkungan polisi
Teknik korupsi yang paling sederhana di lingkungan okum-oknum polisi adalah melakukan perbuatan damai di bawah tangan atas pelanggaran peraturan perundang-undangan antara pelanggar dengan oknum polisi yang seharusnya menegakkan peraturan perundang-undangan. Contoh yang sering kita lihat sehari-hari adalah kompromi antara oknum polisi lalu lintas dengan pelanggar peraturan perundang-undangan dibidang lalu lintas, yang seharusnya dikenakan denda dalam jumlah tertentu yang harus disetor ke kas negara melalui bank atau pengadilan tindak pidan ringan di pengadila, tetapi cukup membayar ke oknum polisi dengan jumlah yang jauh lebih kecil tanpa dikenakan proses tilang peradilan.

b. teknik korupsi dilLingkungan oknum-oknum kejaksaan
Pihak kejaksaan sebagai pihak yang menindak lanjuti berkas yang diserahkan oleh polisi, pengaduan masyarakat, institusi pengawas dan pemeriksa atau dari hasil penyelidikan dan penyidikan kejaksaan sendiri, yang seharusnya segera diproses ke tahapan penuntutan di pengadilan sesuai dengan berat ringannya kesalahan.
Adapun teknik yang biasa digunakan oleh oknum-oknum kejaksaan seperti, pertama oknum-oknum kejaksaan melakukan tindak lanjut memproses perkara dengan mengenakan hukum dengan pasal yang terberat, apabila tersangka dan pengacaranya merasa keberatan, mulai diajak berdamai dengan memberikan imbalan tertentu. Selanjutnya pihak kejaksaan mengubah tuntutan dengan pasal-pasal yang lebih ringan dan alat-alat bukti dikaburkan dengan harapan pada proses peradilan tidak terbukti atau terbukti dengan hukuman yang cukup ringan. Kedua proses perkara bisa dikesampingkan asalkan tersangka atau pengacaranya memberikan imbalan yang sepadan dengan ancaman hukuman dengan cara menyatakan setelah dilakukan gelar perkara ternyata unsur-unsur tindak pidana atas pasal yang dituduhkan tidak terpenuhi. Ketiga tidak memperoses perkara sama sekali dengan dalil berkas perkara yang diterima dari polisi atau pengaduan measyarakat atau instansi pemerintah/garing pengawas tidak memnuhi syarat untuk ditundaklanjuti ke proses penuntutan. Hal ini bisa terjadi karena betul-betul tidak memenuhi syarat dan bisa terjadi karena oknum-oknum kejaksaan telah berkolusi dengan calon tersangka dan oknum pengacara untuk mengesampingkan perkara.
c. Teknik korupsi di lingkungan hakim
Untuk perkara-perkara perdata biasanya terjadi kolusi antar oknum hakim dengan oknum pengacara baik dari pihak penggugat maupun tergugat yang berani memberikan upeti atau sogokan yang lebih besar, maka dalam putusan yang dimenangkan adalah pihak tersebut.
Adapun untuk perkara pidana inisiatif terjadinya korupsi bisa diprakarsai oleh terdakwa dan pengacaranya dan bisa pula pihak oknum/oknum hakim yang proaktif menawar jasanya. Apabila telah terjadi kata sepakat untuk mengatur berat ringannya hukuman yang dijatuhkan atau atas permintaan terdakwa/pengacaranya untuk dibebaskan dari hukuman sama sekali dan jumlah imbalan disepakati, maka bunyi vonis akan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.[22]



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1.      Henry Campbell Black mendefinisakan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain.
2.      Penyebab korupsi bukan hanya ada pada dalam faktor dalam diri si pelaku seperti moral yang lemah dan gaya hidup yang konsumtif akan tetapi juga dari luar diri si pelaku dimana tempat instansi dia bekerja juga sudah menjadi lingkaran setan sehingga pelaku tersebut mau tidak mau harus juga ikut-ikutan agar tidak di cemooh dan atau dipindahtugaskan.
3.      Teknik Korupsi ada berbagai macam dan berbagai cara tergantung dari instansi yang didiami karena fleksibilitas dan celah dari tindakan korupsi itu berbeda-beda bagi setiap instansi.
B. Saran
1.      Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana extra ordinary-crime maka dalam tindakan pemberantasannya harus pulah lah dengan cara yang extra seperti hukuman mati.
2.      Seharusnya dalam pencegahan tindak pidana korupsi, dilakukan lah edukasi kepada generasi muda tentang bahaya korupsi sehingga generasi muda kita tidak juga terjebak dalam lingkaran setan tersebut.
3.      Korupsi bisa dapat mudah terjadi karena lemahnya pengawasan dari instansi terkait ataupun dari masyaraka, peran pengawasan yang paling penting seharusnya disematkan kepada rakyat karna negara kita adalah negara demokrasi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat.



[1]Huala Adolf., Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional., (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., 1996) hlm. 3.
[2] Miriam Budiardjo., Dasar-Dasar Ilmu Politik., (Jakarta: PT Gramedia Pustaka., 2015) hlm. 62
[3]M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP., (Jakarta: Sinar Grafika., 2002) hlm. 7.

[4] Topo Santoso dan Eva Achjani., Kriminologi.,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada., 2001) hlm. 1
[5] E.Y Kanter dan S.R Sianturi., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya., (Jakarta: Storia Grafika., 2002) hlm. 13.
[6] Evi Hartanti., Tindak Pidana Korupsi., (Jakarta: Sinar Grafika., 2012) hlm. 5.
[7] Ibid.,
[8]Andi Hamzah., Pembrantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional., (Jakarta: Raja Grafindo Persada., 2014) hlm. 4.
[9] Aziz Syamsudin., Tindak Pidana Khusus (Jakarta: Sinar Grafika., 2011) hlm 137.
[10]Ermansjah Djaja., Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika., 2010) hlm. 29.
[11]Surachmin dan Suhandi Cahaya., Strategi dan Teknik Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika., 2011)  hlm. 91.
[12] Ibid., hlm. 94.
[13] Ibid., hlm. 95.
[14] Ibid., hlm. 96.
[15] Ibid., hlm. 101.
[16] Ibid., hlm. 102.
[17] Ibid., hlm. 104.
[18] Ibid., hlm. 108.
[19] Ibid., hlm. 67-70.
[20] Ibid., hlm. 71.
[21] Ibid., hlm. 72-74.
[22] Ibid., 75-77.

Tindak Pidana Khusus - Makalah Teknik Korupsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan yang diutarakan oleh Oppenheim-Lauterpacht bahwa unsur-unsur negara yakni, ra...