BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sesuai dengan yang
diutarakan oleh Oppenheim-Lauterpacht bahwa unsur-unsur negara yakni, rakyat,
wilayah, kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain, dan ada
pemerintahan yang berkuasa (berdaulat).[1]
Sehingga tentu dalam menjalankan pemerintahan yang berdaulat mempuanyai proses
penyelenggaraan kekuasaan untuk mencapai tujuan negara.
Proses penyelenggaraan
kekuasaan negara oleh lembaga-lembaga negara diatur menurut konstitusi negara.
Saat ini konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah UUD 1945 uang telah
diamandemen. Berdasarkan konstitusi ini, dalam sistem pemerintahan Republik
Indonesia, proses penyelenggaraan kekuasaan negara berlangsung di tingkat
nasional, daerah dan desa.[2]
Penyelenggaraan
pemerintahan di daerah dilaksanakan dengan asas desentralisasi, yaitu
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya dan asas dekonsentrasi, yaitu
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal, serta melaksanakan tugas
pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintahan kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintahan provinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan
tugas tertentu.[3]
Yang
menjadi masalah adalah di Indonesia telah terjadi beberapa kali perubahan
terhadapa peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Terjadinya
beberapa kali perubahan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan
daerah itu, memberikan indikasi yang kuat bahwa pengaturan mengenai aspek
pengaturan mengenai susunan pemerintahan daerah dan corak serta kadar
desentralisasi dalam pelaksanaan ini tidak semudah seperti yang digambarkan.
Berbagai kepentingan di balik pembagian kekuasaan yang melahirkan adanya
Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah, memungkinkan terjadinya tarik ulur
seberapa besar kewenangan yang dimiliki masing-masing dalam melaksanakan
fungsi-fungsi pemerintahan.[4]
Dalam
rangka menjalankan pemerintahan daerah ada dua lembaga yang saling bekerja sama
yakni Legilatif Daerah dan Eksekutif Daerah, dimana dua institusi yang harus
selalu ada dalam pelaksanaan otonomi daerah. Keberadaan dua institusi ini ini
sangat diperlukan untuk mengemban pelaksanaan prinsip pembagian kekuasaan di
daerah. Pemerintah Daerah adalah institusi eksekutif dan DPRD adalah institusi
legislatif yang merupakan representatif rakyat di suatu daerah otonom.
Masing-masing mempunyai tugas dan kewenangan sendiri, namun terikat dalam tata
hubungan antara keduanya.[5]
Ada
berbagai polemik yang terjadi antara institusi Legislatif Daerah dan Eksekutif
Daerah dimana sering terjadi ketidakseimbangan di antara kedua lembaga ini
dimana, Legislatif Daerah memegang fungsi pengawasan terhadap Eksekutif daerah
sementara Legislatif Daerah tidak ada lembaga ataupun instansi yang melakukan
pengawasan terhadap kinerja DPRD selaku Legislatif Daerah. Hal ini yang menimbulkan banyak perilaku
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh DPRD. Seperti yang tergambar dalam
pernyataan sejarawan Inggris yakni Lord Acton.
“Kekuasaan
itu cenderung di salahgunakan, Kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan”
(Power tends to corrupt, absolute power corupts absolutely)[6]
Penulis berpendapat
bahwa pernyataan yang diuratakan oleh Lord Acton tersebut sampai sekarang
menjadi suatu hipotesa yang tak terbantahkan. Sebab kekuasaan yang absolut yang
membuat orang pasti menyalahgunakan kekuasaan. Padahal esensinya Trias Politika
dari Montesquieu ini bertujuan agar tidak terpusatnya kekuasaan pada satu orang
atau lembaga yang akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat.
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka penulis akan membahas masalah “Kekuasaan Legislatif Daerah”
Untuk melihat sampai dimana kekuasaan Legislatif di daerah .
B.
Perumusan Masalah
Dari latar
belakang dan dasar pemikiran diatas, maka yang menjadi permasalahan yang dikaji
dalam tulisan ini ialah :
1. Apa-apa
saja kekuasaan DPRD selaku Legislatif Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah?
2. Bagaimana
Mekanisme Penggunaan Hak DPRD dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah?
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pemisahan Kekuasaan (Trias Politica)
1.
Pemisahan
Kekuasaan (Separation of Power)
Trias politika adalah
suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (functions) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama
untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian
diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.[7]
Doktrin
ini untuk pertama kali dikemukakan oleh Jhon Locke (1632-1704) dan Montesquieu
(1689-1755) dan pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power). Menurut Jhon Locke
kekuasaan negara dibagi dalam tiga
kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
federatif, yang masing-masing terpisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif
ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif ialah
kekuasaan melaksanakan undang-undang dan didalamnya kekuasaan mengadili (Locke
memandang mengadili itu sebagai
uitvoering, yaitu termasuk pelaksanaan undang-undang, dan kekuasaan
federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan
negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya
(dewasa ini disebut hubungan luar negeri).[8]
Sedangkan
menurut Montesquieu membagi kekuasaan menjadi tiga cabang yakni, kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga
kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi)
maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyeleng-garakannya. Terutama
adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu, karena
disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia itu dijamin dan
dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat
undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang (tetapi
Montesquieu diutamakan tindakan bidang politik luar negeri), sedangkan
kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.[9]
2.
Pembagian
Kekuasaan (Division of Power)
Pada abad 20 negara
dalam keadaan sedang berkembang dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah
menjadi sedemikian kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua
aspek kehidupan masyarakat, Trias Politika dalam arti “pemisahan kekuasan” tidak
dapat dipertahankan lagi. Dengan berkembangnya konsep mengenai Negara
Kesejahteraan (Welfare State) dimana
pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat, dan karena itu
harus menyelenggarakan perencanaan pembangunan ekonomi dan sosial secara menyeluruh,
maka fungsi kenegaraan sudah jauh melebihi tiga macam fungsi yang disebut oleh
Montesquieu. Misalnya saja, badan eksekutif tidak hanya bertindak sebagai
pelaksana undang-undang yang diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi ia
bergerak secara aktif di bidang legislatif sendiri (misalnya dengan menyusun
RUU, membuat Peratura Presiden, Peraturan Mentri, dsb)[10]
B.
Penyelenggaraan Otonomi Daerah
1.
Dasar
Hukum Otonomi Daerah
a.
Undanng
Undang Dasar 1945
Pasal 18 UUD
menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Kedua tahun 2000
untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk
mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan
permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan
Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18
untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.[11]
b.
Ketetapan
MPR-RI
Tap MPR-RI No.
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuasaan
Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.[12]
c.
Undang-Undang
Undang-Undang
No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desantrilisasi.
Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Namun, karena dianggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk
menggantikannya seperti : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah; dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014[13].
2.
Asas-Asas
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
a.
Asas
Desentralisasi
Desentralisasi adalah
istilah yang luas dan selalu menyengkut persoalan kekuatan (power. Umumnya dihubungkan dengan pendelegasian atau penyerahan
wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada
lembaga-lembaga pemerintah di daerah untuk menjalankan urusan-urusan
pemerintahan di daerah. Dalam Encyclopedia
of the Social Sciences, desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah,
baik yang menyangkut bidang legislatif, yudikatif maupun administratif.[14]
b.
Asas
Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang dari pemerintahan atau kepala wilayah atau kepala instansi
vertikal tingkat atasnya pada pejabat-pejabat di daerah, yang meliputi sebagai
berikut[15] :
1. Pelimpahan
wewenang dari aparatur pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya ke aparatur lain
dalam satu tingkatan pemerintahan disebut dekonsentrasi horizontal.
2. Pelimpahan
wewenang dari pemerintah atau dari aparatur pemerintah yang lebih tinggi
tingkatannya ke aparatur lain dalam tingkatan pemerintahan yang lebih rendah
disebut dekonsentrasi vertikal.
c.
Asas
Medebewind
Tugas pembantuan adalah
tugas-tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang
ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah di
tingkat atasnya, dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang
menugaskan. Pemerintah atau provinsi yang menugaskan ini menyusun rencana
kegiatan atau kebijaksanaan dan menyediakan anggarannya, sedangkan daerah yang
ditugasi hanya melaksanakannya, tetapi dengan kewajiban mempertanggung jawabkan
pelaksanaan tugas kepada yang memberikan tugas.[16]
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Kekeuasaan DPRD
Selaku Legislatif Daerah
Cabang kekuasaan legislatif adalah
cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan
bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab
itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus diberikan
kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau legislatif.[17]
Selain daripada itu fungsi
legislatif juga menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai berikut[18] :
1) Prakarsa
pembuatan undang-undang (legislative
initiation);
2) Pembahasan
rancangan undang-undang (Law making
process);
3) Persetujuan
atas pengesahan rancangan undang-undang (law
enactment approval);
4) Pemberian
persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan
internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on international
agreement and treaties or other legal binding documents).
Lebih khusus,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, implementasi peran DPRD lebih disederhanakan perwujudannya
dalam tiga fungsi, yaitu[19] :
1. Legislasi
2. Anggaran
3. Pengawasan
Menurut Utang Rosidin pelaksanaan
ketiga fungsi tersebut secara ideal diharapkan dapat melahirkan output berikut.[20]
1. Perda
yang aspiratif dan responsif. Dalam arti Perda yang dibuat telah mengakomodasi
tuntutan, kebutuhan, dan harapan rakyat. Hal itu tidak mungkin terwujud apabila
mekanisme penyusunan Peraturan Daerah bersifat ekslusif dan tertutup. Untuk
itu, mekanisme penyusunan Perda yang dituangkan dalam peraturan Tata Tertib
DPRD harus dibuat sedemikian rupa agar mampu menampung aspirasi rakyat secara
optimal.
2. Anggaran
Belanja Daerah (APBD) yang efektif dan efisien, serta memiliki kesesuaian yang
logis antara kondisi kemampuan keuangan daerah dan keluaran (output) kinerja pelayanan masyarakat.
3. Ada
suasanana pemerintahan daerah yang transparan dan akuntabilitas, baik dalam
proses pemerintahan maupun dalam penganggaran.
Untuk lebih jelasnya mari kita bahas
ketiga fungsi, hak, tugas, kewajiban, dan wewenang DPRD satu-persatu.
1.
Fungsi
DPRD
a.
Fungsi
Legislasi
Fungsi legislasi yaitu DPRD berperan
dalam membentuk Peraturan Daerah bersama Kepala Daerah, dalam hal ini Peraturan
Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh daerah. Sebelum peraturan dibuat dan
ditetapkan sebelumnya harus direncanakan dulu dan mempunyai tujuan yang jelas.[21]
Dalam rangka menetapkan Peraturan Daerah
yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut Utang Rosidin Peraturan Daerah harus memenuhi
syarat-syarat, baik material maupun formal. Adapun yang dimaksud dengan syarat
materil adalah Sebagai berikut[22]:
1. Sesuai
dengan kewenangan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Tidak
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
3. Sesuai
dengan aspirasi dan materi-materi yang berkembang dalam masyarakat.
4. Tidak
bertentangan dengan peraturan lainnya yang sederajat.
5. Tidak
bertentangan dengan kepentingan umum.
Adapun
persyaratan formal adalah :
1. Dibuat
oleh pejabat yang berwenang.
2. Meliputi
tata cara yang sudah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Bentuk
dan jenis harus sesuai dengan pedoman yang sudah ditetapkan pemerintah.
Dalam rangka
menjalankan fungsi legislasi DPRD, ada proses tahapan yang dilalui dalam proses
pembuatan peraturan daerah tersebut, yakni Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
dapat berasal (usul insiatif) dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan dapat
pula berasal (prakarsa) dari Gubernur atau Bupati/Walikota. Dengan kata lain,
sebagai dua produk otoritas Pemerintahan Daerah, pengajuan raperda dapat
dilakukan berdasarkan prakarsa Gubernur atau Bupati/Walikota, atau sebaliknya
atau dapat dilakukan oleh DPRD melalui pengajuan usul inisiatif. Jadi, keduanya
(Gubernur atau Bupati/Walikota dan DPRD)
mempunyai hak yang sama untuk mengajukan raperda. Oleh karena itu, dari manapun
usul inisiatif atau prakarsa pengajuan raperda itu berasal, tetap memerlukan
pembahasan dan persetujan bersama DPRD dengan Gubernur atau Bupati/Walikota dan
diundangkan oleh Sekertaris Daerah dalam lembaran daerah agar Perda tersebut
mempunyai kekuatan hukum mengikat (legal
binding).
b.
Fungsi
Anggaran
Bersama kepala daerah,
DPRD menetapkan[23]
:
1. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);
2. Perubahan
atas APBD;
3. Perhitungan
APBD.
Dalam rangka
melaksanakan fungsi penganggaran ini, DPRD mempunyai hak[24] :
a)
Budget,
yaitu mengadakan perubahan atas rencana APBD
b)
Menentukan anggaran belanja DPRD
Anggaran belanja DPRD
ini ditetapkan dengan keputusan DPRD dan dicantumkan dalam APBD.
Salah satu hal atau
fungsi DPRD yang cukup penting dan berarti serta dapat berakibat panjang dan
luas ialah fungsi anggaran DPRD menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Hal itu dikaitkan dengan kewajiban Kepala Daerah melakukan
Pertanggung Jawaban Tahunan atas pelaksanaan APBD[25].
Adapun UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengatur lebih rinci kapan RAPBD
diserahkan Kepala Daerah kepada DPRD. Seperti dirumuskan dalam Pasal 86 UU
Nomor 22 Tahun 1999, disebutkan : “ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
ditetapkan dengan Peraturan Daaerah selambat-lambatnya satu bulan setelah
ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.[26]
Sementara dalam UU No
32 Tahun 2004 yang menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1999, dalam Pasal 181
merumuskan sebagai berikut[27];
1) Kepala
Daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan
dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama.
2) Rancangan
Perda sebagaimana dimaksud ayat (1) dibahas pemerintah daerah bersam DPRD
berdasarkan kebijakan umum APBD, serta prioritas dan plafon anggaran.
3) Pengambilan
keputusan DPRD untuk meyetujui rancangan Perda sebagaimana dimaksud ayat (2)
dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan.
4) Atas
dasar persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah
menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD da
rancanga dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah.
c.
Funsi
Pengawasan
Fungsi yang sangat
populer dari DPRD dan pekaksanaannya bergantung pada internal DPRD adalah
fungsi pengawasan (control). Undang –
Undang No 32 tahun 2004 memberikan kesempatan yang cukup luas dan besar bagi
DPRD untuk melaksanakan fungsi pengawasan atas jalannya roda permerintahaan
daerah, baik dalam bentuk preventif maupun represif, yaitu sebagai berikut[28] :
a) Bersama
kepala daerah menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
b) Melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang
undangan lainnya seperti pelaksanaan keptusan gubernur, pelaksanaan APBD,
kebijakan pemerintahaan daerah dan pelaksanaan kerjasama internasional didaerah.
c) Meminta
pertanggung jawaban.
d) Memminta
keterangan pada pemerintahaan daerah.
e) Mengadakan
penyelidikan.
f) Mengadakan
perubahan atas rancangan peraturan daerah.
g) Mengajukan
pernyataan pendapat.
h) Mengajukan
rancangan peraturan daerah.
i)
Menentukan anggaran belanja DPRD.
j)
Menetapkan peraturan tata tertib DPRD.
k) Meminta
pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga masyarakat untuk memberikan
keterangan suatu hal yang perlu
ditangani demi kepantingan negara, bangsa, pemerintahan dan pembangunan.
l)
Memberikan persetujuan pengangkatan
seorang sekertaris DPRD kepala daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memunuhi
syarat.
m) Melelaui
keputusan DPRD menetapkan pemberhentian Kepala Daerah karena alasan yang diatur
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan disahkan oleh
Presiden.
n) Melalui
Peraturan Daerah mengatur kedudukan keuangan Kepala Daerah dan wakilnya.
o) Melalui
Peraturan Daerah melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan
pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai, pendidikan dan pelatihan
sesuai dengan kemampuan daerah.
p) Memberi
persetujuan kepada Pemerintah Daerah untuk dapat melakukan peminjaman dari
sumber dalam negara dan atau sumber dari luar negeri untuk membiayai kegiatan
pemerintahan.
q) Melalui
Peraturan Daerah menentukan tarif dan tata cara pemungutan pajak dan Retribusi
Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
r) Melalui
Peraturan Daerah membentuk Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
s) Memberi
persetujuan kepada Kepala Daerah untuk menetapkan putusan tentang penghapusan
tagihan daerah sebagian atau seluruhnya, penyelesaian sengketa perdata secara
damai dan tindakan hukum lain mengenai barang milik daerah.
t) Memberikan
persetujuan kepada Kepala Daerah untuk mengadakan kerja sama antar daerah yang
diatur dengan keputusan bersama, membentuk badan kerja sama antar daerah dan
mengadakan kerja sama dengan badan lain yang diatur dengan keputusan bersama
yang membebani masyarakat dan daerah.
u) Melalui
Perda melakukan pengawasan perkotaan.
v) Melalui
Perda menetap suatu organisasi, formasi, kedudukan, wewenang, hak, tugas dan
kewajiban polisi pamong praja sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah.
2.
Tugas dan Wewenang DPRD
Adapun tugas dan
wewenang DPRD sesuai isi Pasal 42 UU No.32 Tahun 2004 ialah[29] :
a) Membentuk
Peraturan Daerah yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan
bersama.
b) Membahas
dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah.
c) Melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan peraturan
perundang-undangan lainnya, Peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan Pemerintah
Daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama
internasional di daerah.
d) Mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah kepada Presiden melalui Mentri
Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada Mentri Dalam Negeri melalui gubernur
bagi DPRD Kab/Kota.
e) Memilih
wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil Kepala Daerah.
f) Memberikan
pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi terhadap perjanjian
internasional di daerah.
g) Memberikan
persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah.
h) Meminta
laporan keterangan pertanggung jawaban Kepala Daerah dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
i)
Membentuk panitia pengawasan pemilihan
Kepala Daerah.
j)
Melakukan pengawasan dan meminta laporan
KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah.
k) Memberikan
persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga
yang membebani masyarakat dan daerah.
3.
Hak dan Kewajiban DPRD
Dalam Pasal 43 UU Nomor
32 Tahun 2004 disebut bahwa : DPRD mempunyai hak[30]:
a. Interpelasi
Hak interpelasi adalah
hak mengajukan mengenai kebijakan Pemerintah Daerah yang penting dan strategis
serta berdampak luas pada kehidupan masyarkat daerah dan negara.
b. Angket
Hak Angket adalah hak
penyelidikan terhadap kebijakan kepala daerah yang penting dan strategis seerta
berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara yang diduga
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
c. Petisi
Hak Petisi adalah hak
mengajukan usul pernyataan pendapat terhadap kebijakan usul atau mengenai
kejadian luar biasa yang terjadi daerah.
Namun didalam rumusan
Pasal 64 (untuk DPRD Provinsi) dan Pasal 80, UU Nomor 22 Tahun 2003 (untuk
Anggota DPRD Kabupaten/Kota), yang kemudian lebih rinci lagi dalam Undang – Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dalam Pasal 44 disebut: hak anggota DPRD ialah[31] :
a. Mengajukan
rancangan peraturan daerah;
b. Mengajukan
pertanyaan;
c. Menyampaikan
usul dan pendapat;
d. Memilih
dan dipilih
e. Membela
diri;
f. Imunitas;
g. Protokoler;
dan
h. Keuangan
dan administratif.
Selain fungsi, tugas, wewenang, berikut
hak DPRD dan hak Anggota DPRD, UU No. 22 Tahun 2003 juga mengatur kewajiban
Anngota DPRD Provinsi (Pasal 65) dan Anggota DPRD Kab/Kota (Pasal 81) yang
rumusannya sama. Selanjutnya UU No. 32 Tahun 2004 mengaturnya dalam Pasal 45
disebutkan bahwa Anggota DPRD mempunyai kewajiban yakni[32] :
a. Mengamalkan
Pancasila melaksanakan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan mentaati segala perturan perundang – undangan;
b. Melaksanakan
kehiduapan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahaan daerah;
c. Mempertahankan
dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuaan Republik
Indonesia;
d. Memperjuangkan
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
e. Menyerap,
menghimpun, menampung dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat;
f. Mendahukukan
kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok, golongan;
g. Memberikan
pertanggung jawaban secara moral dan politis kepada pemilik dan daerah
pemilihannya;
h. Menaati
Peraturan Tata Tertib, Kode Etik dan Sumpah atau Janji anggota DPRD;
i.
Menjaga norma dan etika dalam hubungan
kerja dengan lembaga yang terkait.
B.
Mekanisme Penggunaan Hak DPRD dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
1.
Hak Interpelasi
Pada prinsipnya setiap
anggota DPRD secara perseorangan atau bersama-sama dengan anggota lainnya dapat
mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah Daerah. Sesuai dengan ketentuan
Peraturan Tata Tertib DPRD, apabila pertanyaan tersebut menyangkut satu
kebijakan yang ditempuh Pemerintah Daerah atas sesuatu yang terjadi di daerah
tersebut, dilakukan oleh sejumlah Anggota DPRD (biasanya 5 orang) melalui
Pimpinan DPRD yang kemudian lewat Panitia Musyawarah diputuskan diterima untuk
diteruskan dalam Rapat Paripurna untuk membahas dan memutuskan apakah menerima
atau menolak usul meminta keterangan kepada Kepala Daerah.[33]
Isi pertanyaan kelompok
DPRD diformulasikan secara jelas dan singkat dalam bentuk tulisan. Dengan
demikian apabila Rapat Paripurna menerima, maka usul tersebut diteruskan kepada
Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah wajib memberikan keterangan lisan maupun tertulis
atas pertanyaan DPRD yang selanjutnya DPRD memberikan pandangan atas Jawaban
Pemerintah Daerah. Seterusnya Pemerintah Daerah dapat memberikan jawaban atas
Pandangan DPRD, yang selanjutnya DPRD dapat menyatakan pendapatnya. Selanjutnya pernyataan pendapat DPRD atas
Keterangan Pemerintah Daerah dapat dipakai sebagai bahan bagi DPRD dalam
pelaksanaan fungsi pengawasan untuk Kepala Daerah dijadikan bahan dalam
pelaksanaan kebijakan dalam rangka penilaian pertanggung jawaban Kepala Daerah.[34]
Di samping prosedur
tertulis ini, dalam setiap Rapat Paripurna DPRD dengan Kepala Daerah, setiap
Anggota DPRD berhak meminta keterangan atas sesuatu peristiwa atau tentang
pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah, yang selanjutnya melalui izini
Pemimpin Rapat, Kepala Daerah dapat memberikan keterangan lisan atau akan
disusul dengan keterangan tertulis oleh pihak Kepala Daerah.[35]
2.
Hak Angket
Sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD, sekelompok Anggota DPRD
(biasanya 5 orang) dapat mengajukan usul kepada Pimpinan DPRD, untuk mengadakan
penyelidikan mengenai terjadinya penyimpangan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan atau kebijaksanaan daerah, sehingga menimbulkan kerugian
bagi daerah dan atau masyarakat, daerah dan negara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan. Usul tersebut disampaikan secara tertulis,
singkat dan jelas kepada Pimpinan DPRD
dengan disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nomor pokok oleh
Sekertariat DPRD. Usul tersebut selanjutnya dibahas dalam forum Panitia
Musyawarah dan oleh Pimpinan DPRD diteruskan untuk dibahas dalam Rapat
Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah Anggota DPRD dan
putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
DPRD yang hadir Rapat Paripurna memutuskan menerima atau menolak usul
mengadakan penyelidikan. Dalam hal Rapat Paripurna DPRD menerima usul tersebut,
maka usul mengadakan penyelidikan disampaikan kepada Kepala Daerah untuk
diketahui.[36]
Keputusan DPRD
mengadakan penyelidikan memuat :
a)
Rencana Kerja;
b)
Waktu pelaksanaan;
c)
Jumlah anggota DPRD yang akan mengadakan
penyelidikan.
Dalam pelaksanaan
tugas, tim atau panitia penyelidik berhak meminta Pejabat Negara, Pejabat
Pemerintah, Badan Hukum atau Warga masyarakat untuk memberikan keterangan
tentang sesuatu hal yangperlu ditangani demi kepentingan daerah, bangsa dan
negara. Pihak-pihak di atas wajib memenuhi permintaan DPRD. Tim bekerja sesuai
jadwal dan pada akhir waktu yang ditentukan; tim menyusun temuan meraka dalam
bentuk laporan yang selanjutnya disampaikan kepada Pemimpin DPRD. Seluruh hasil
kerja tim (panitia) angket bersifat rahasia. Laporan tersebut diteruskan
Pimpinan untuk dibahas dalam Rapat Paripurna DPRD untuk diambil keputusan.
Keputusan DPRD tersebut disampaikan kepada Kepala Daerah dan atau instansi
terkait lainnya untuk ditindak lanjuti. Apabila hasil penyelidikan diterima
oleh DPRD dan ada indikasi pidana, DPRD menyerahkan penyelesaiannya kepada
aparat penegak hukum sesuai ketentuan perundang-undangan.[37]
3.
Hak Petisi
Proses mengajukan
Menyatakan Pendapat oleh DPRD biasanya dilakukan oleh kelompok (paling sedikit
5 orang Anggota DPRD) terhadapkebijakan Kepala Daerah atau mengenai kejadian
luar biasa yang terjadi di daerah. Pernyataan Pendapat disampaikan kepada
Pimpinan DPRD secara tertulis, singkat dan jelas dilengkapi dengan daftar nama
dan tanda tangan pengusul serta diberikan nomor pokok oleh Sekertariat DPRD.
Selanjutnya Pimpinan DPRD menyampaikan pernyataan pendapat dalam forum Panitia
Musyawarah untuk dibicarakan di Rapat Paripurna. Menjelaskan lebih rinci lagi
tentang isi pendapatnya. Seperti pada rapat biasa, maka Anggota DPRD lainnya
diluar pengusul dapat memberi pandangannya melalui fraksinya. Juga kepada
Kepala Daerah diberi kesempatan untuk menyatakan tanggapannya atas pernyataan
pendapat tersebut. Selanjutnya kepada pengusul diberi kesempatan untuk memberikan
tanggapan, jawaban atas pandangan Anggota DPRD dan tanggapa Kepala Daerah.
Pembicaraan Rapat Paripurna diakhiri
dengan Keputusan DPRD yang menerima atau menolak usul pernyataan pendapat
tersebut menjadi pernyataan pendapat DPRD. Apabila DPRD menerima usul
pernyataan pendapat, Keputusan DPRD dapat berupa : pernyataan pendapat; saran
dan penyelesaian; peringatan. Biasanya isi pernyataan pendapat tersebut
menyangkut sikap DPRD terhadap jalanya Pemerintahan Daerah atau hal-hal yang
timbul di tengah-tengah masyarakat yang memerlukan perhatian semua pihak.[38]
Dari uraian diatas
dapat lah kita lihat bahwa Hak DPRD selaku Badan Legislatif Daerah memegang
peranan yang sangat penting dalam fungsinya sebagai lembaga control, Namun yang menjadi permasalahan
adalah siapa yang mengawasi kinerja DPRD. Itu adalah pertanyaan yang hingga
kini belum dapat dijawab secara pasti, pertanyaan ini muncul ke permukaan,
ketika banyak pihak mulai merasa khawatir terhadap munculnya beberapa gejala
negatif yang dipertontonkan oleh anggota DPRD dalam menggunakan hak, tugas, dan
wewenangnya yang sedemikian besar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Realitas seperti ini
dimungkinkan terjadi karena adanya latar belakang kondisi yang kontroversial.
Di satu sisi, pertama; penetapan dan
pelantikan Anggota DPRD didasarkan Surat Keputusan Mentri Dalam Negeri bagi
Anggota DPRD Tingkat I, dan Surat Keputusan Gubernur bagi Anggota DPRD Tingkat
II, sebagai pelaksanaan undang-undang. Dengan demikian, kedudukannya dijamin
dan dilindungi secara kuat oleh peraturan perundang-undangan. Kedua; sesuai kedudukannya sebagai Badan
Legislatif Daerah, undang-undan menetapkan kepada DPRD dan anggotanya diberikan
hak, tugas dan wewenang yang sangat besar, sekaligus melaksanakan fungsi
legislasi, anggaran dan pengawasan. Ketiga;
undang-undang juga menetapkan kedudukann yang sejajar dan menjadi mitra
Pemerintah Daerah. Namun disisi lain, dari berbagai ketentuan itu tidak satu
pun yang disertai dengan pengaturan mengenai “pengawasan terhadap DPRD”. Dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang politik dan
Pemerintahan Daerah, tidak ditemukan satu pasal pun yang mengatur hal itu.
Padahal,dengan kedudukan dan kewenangan yang sedemikian besar tanpa disertai
dengan pengawasan atau mekanisme kontrol, akan mendorong pada tindakan powerfull yang tidak terkontrol. Hal
inilah yang dikhawatirkan para pihak ketika munculnya gejala-gejala negatif
yang diperagakan oleh sebagian anggota DPRD. Di satu sisi DPRD dapat melakukan
pengawasan ketat terhadap Pemerintah Daerah. Tetapi disisi lain, secara hukum
keberadaannya tidak tersentuh pengawasan.[39]
Beberapa jawaban selama
ini mengatakan, bahwa yang mengawasi DPRD adalah rakyat. Jika anggota DPRD yang
melakukan penyimpangan, pelanggaran sikap perilakunya berindikasi KKN, dan
sebagainya, maka rakyat yang akan menegur dan menghukum. Lembaga-lembaga
semacam parliement watch di berbagai
daerah yang lebih di efektifkan. Kalau jawaban itu bisa diterima, pertanyaannya
kemudian adalah “bagaimana mekanismenya” dan “apa dasar hukumnya” Apakah
mungkin melakukan tindakan hukum dengan melanggar hukum? Disinilah terjadi
dilema, antara ketentuan hukum dan komitmen moralitas.[40]
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Bahwa
dalam melaksanakan kekuasaannya sebagai Legislatif Daerah, DPRD memiliki
Fungsi, Hak, Tugas, Kewajiban, dan Wewenang yang kesemuanya itu ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dimana tugas, wewenang dan Kewajiban
DPRD diatur di Pasal 42 dan 45 UU no. 32 tahun 2004. Serta Fungsi DPRD pada Pasal 41 yakni sebagai Legislator, Budgeting, dan Controling, Serta
Hak yang dimiliki DPRD diatur pada Pasal
43 yakni Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Petisi.
2. Bahwa
mekanisme tata cara pelaksanaan Hak DPRD dalam rangka meyelenggarakan fungsi
pengawasan terhadap Eksekutif Daerah diatur dalam Tata Tertib DPRD. Namun dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terlihat lah bahwa hanya pihak DPRD
yang mempunyai fungsi pengawasan terhadap Eksekutif Daerah, Legislatif Daerah
tidak mempunyai lembaga pengawasan yang bisa mengawasi kinerja DPRD sendiri.
B.
Saran
1. Bahwa
dalam pelaksanaan kekuasan dari DPRD sendiri selaku Legislatif Daerah ada
banyak hal yang perlu diperbaiki misalnya saja dalam hal pengambilan keputusan.
Dalam sila ke-empat Pancasila kita disebutkan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin
oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Di sini para pendiri
bangsa kita sudah mengamanatkan kepada kita untuk selalu dalam pengambilan
keputusan itu haruslah diutamakan Musyawarah dan Mufakat. Tapi pada kenyataan
yang terjadi dewasa ini Musyawarah tidak menjadi hal yang penting di karena kan
Anggota Dewan yang terhormat kita ini memiliki kepentingannya masing-masing
baik golongannya maupun pribadinya. Bahkan mirisnya tanpa ada musyawarah
langsung diadakan voting. Ini menyebabkan hal yang sangat berbahaya,
dikarenakan metode seperti ini membuat yang mayoritas pasti menang. Padahal
yang banyak belum tentu benar dan yang sedikit belum tentu salah. Mari lah
merubah itu semua mulai dari diri kita sendiri .
2. Dalam
melaksanakan mekanisme pengawasan yang dimiliki DPRD sendiri memiliki tiga hak
yakni, hak interpelasi, angket, petisi. Diman ketiga hak ini diorientasikan
sebagai fungsi dari pada DPRD sebagai control
terhadap Eksekutif Daerah. Mekanisme nya sudah baik dalam proses penggunaan hak
tersebut. Namun dalam ini DPRD mempunyai fungsi pengawasan , lalu yang jadi
pertanyaan siapa yang mengawasi DPRD?. Secara hukum tidak ada lembaga atau
institusi yang mengawasi DPRD sendiri, tapi yang kita ketahui mereka adalah wakil
dari rakyat. Mereka adalah wakil kita, maka marilah sama-sama melakukan
pengawasan terhadap kinerja mereka. Janganlah menjadi rakyat yang tidak mau
tahu. Ini bangsa kita maka kita juga ambil bagian dalam maju dan berkembangnya
negeri ini.
[1]Huala Adolf., Aspek-Aspek
Negara Dalam Hukum Internasional., (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.,
1996) hlm. 3
[2]Utang Rosidin., Otonomi
Daerah dan Desentralisasi., (Bandung: Pustaka Setia., 2015) hlm. 9.
[3]Rosidin., Op.cit., hlm. 83.
[4]Bambang Yudoyono., Otonomi Daerah., (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., 2001) hlm. 18.
[5] Ibid., hlm. 94.
[6]M. Yahya Harahap., Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP., (Jakarta: Sinar Grafika., 2002) hlm.
7.
[7]Miriam Budiardjo., Dasar-Dasar
Ilmu Politik., (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama., 2008) hlm. 282.
[8]Ibid.,
[11]Dani Sintara., Hukum
Pemerintahan Daerah., (Medan: Pustaka Bangsa Press., 2017) hlm. 16.
[12]Ibid.,
[14] Rosidin., Op.cit., hlm. 77.
[15] Ibid., hlm. 79.
[16] Ibid., hlm. 80.
[17]Jimly Asshiddiqqie., Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II., (Jakarta: Sekertariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI., 2006) hlm. 32.
[19]Rosidin., Op.cit., hlm. 85.
[21]Sintara., Op.cit., hlm. 51.
[22]Rosidin., Op.cit., hlm. 319.
[24]Ibid.,
[25]B.N. Marbun., DPRD
dan Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 & UU Otonomi Daerah 2004.,
(Jakarta:Pustaka Sinar Harapan., 2005) hlm. 138.
[26]Ibid.,
[27]Ibid.,
[28]Rosidin., Loc.cit.,
[29]Marbun., Op.cit., hlm. 72.
[30]Sintara., Op.cit., hlm 53.
[31]Marbun., Op.cit., hlm. 75.
[32]Ibid.,
[35]Ibid.,
[36]Ibid.,
[39]Yudoyono., Op.cit., hlm 113
[40]Ibid.,
No comments:
Post a Comment